Mereka memang saudara muslimku, tapi terlebih mereka adalah manusia. Kita, seperti kita mereka tidak bisa memilih terlahir di etnis yang mana, dari rahim siapa, dibumi mana mereka dibesarkan.
Kita dengan hiruk pikuk kehidupan, entah hutang yg masih menggunung, cita-cita yang belum kesampaian, rasa iri terhadap keberhasilan orang.
Masih bisa berteduh entah itu dirumah mertua atau rumah cicilan.
Masih bisa rehat sejenak, menarik napas dalam keruwetan pekerjaan, dirumah sendiri atau dinegeri orang.
Setidaknya kita masih bisa BERENCANA setiap melihat wajah terkasih, cita-cita membahagiakan mereka.
Setidaknya kita masih bisa MEMILIH diam, berjalan atau berlari tanpa ancaman kekejian.
Setidaknya kita masih bisa MENUNDA beban, untuk sejenak menjulurkan kaki, menyimpan anak dari gendongan, melihat facebook dalam ketergesaan, atau menuliskan otw pada kiriman wa, ketika perut meminta sarapan.
Bila engkau adalah ibu, coba pandangi atau ingat-ingat putra-putri kecilmu ketika tertidur, dimana wajah polosnya membuatmu makin mencinta.
Relakah dirimu jika matanya memancarkan kengerian yg berlangsung dihadapanya.
Relakah dirimu, jika genggaman tangannya tak menyisakan kehangatan, tersedot oleh kebengisan.
Mereka tak paham, kenapa dunia begitu kejam pada tubuh kecilnya.
Bila engkau adalah seorang ayah, seorang suami.
Potret dirimu ketika mengucapkan ijab kabul, mengucapkan janji suci pernikahan.
Pastilah terpatri tanggung jawab kehormatan atas pasangan dan buah hati dari rahimnya.
Bagaimana bila, jangankan kau bahagiakan mereka, kau naungi saja dengan rumah kontrakan, tak ada yg mau menyewakan.
Jangankan kau berikan perhiasan dan baju model terbaru, kehormatanya saja direnggut tanpa mampu kau mengeluarkan murka.
Jangankan dapat kau naikan anakmu ke pundakmu untuk kau arak keliling kampung sebagai sukacita kebanggaan, malah betis kecilnya harus menempuh jarak ribuan mill.
Kini dekapan dada ibunya tertinggal tanpa kembali, tak ada lagi asi yg menyamankan.
Atau mereka, anakmu dan istrimu selamat..tapi mereka sudah tak sama lagi.
Bila engkau adalah anak, dengan kehidmatan yg luhur membahagiakan orangtuamu.
Bagaimana bila, jangankan kau pijat kaki sepuhnya, malahan tubuh ringkih mereka terpaksa kau tinggalkan, karna tak cukup cepat kau selamatkan.
Lalu bagaima dengan kenangan indah pengorbanan mereka atas kita, kemana sesal itu harus dikendorkan.
Bagaimana bila..anakmu, pasanganmu, ayah ibumu...harus menjadi pilihan untuk kau bawa pergi. Bagaimana caranya kau lupakan binar harap di mata-mata mereka.
Atau malah dirimu yg mendapat tendangan bergudang, sodoran pisau, dan seutas tali kekang yg digantungkan, dan disana.. orang2 terkasihmu menyaksikan.
Engkau, kita..aku, saya..dan kamu dapat saja lahir sebagai mereka, berkembang dalam rahim wanita rohingya
Masihkah kita mempunyai pilihan?
Kita adalah rohingya, rohingya adalah Kita
5 September 2017
Mumsikah Choyri Diyanah
Dalam keheningan senja yang mengangga
Kita dengan hiruk pikuk kehidupan, entah hutang yg masih menggunung, cita-cita yang belum kesampaian, rasa iri terhadap keberhasilan orang.
Masih bisa berteduh entah itu dirumah mertua atau rumah cicilan.
Masih bisa rehat sejenak, menarik napas dalam keruwetan pekerjaan, dirumah sendiri atau dinegeri orang.
Setidaknya kita masih bisa BERENCANA setiap melihat wajah terkasih, cita-cita membahagiakan mereka.
Setidaknya kita masih bisa MEMILIH diam, berjalan atau berlari tanpa ancaman kekejian.
Setidaknya kita masih bisa MENUNDA beban, untuk sejenak menjulurkan kaki, menyimpan anak dari gendongan, melihat facebook dalam ketergesaan, atau menuliskan otw pada kiriman wa, ketika perut meminta sarapan.
Bila engkau adalah ibu, coba pandangi atau ingat-ingat putra-putri kecilmu ketika tertidur, dimana wajah polosnya membuatmu makin mencinta.
Relakah dirimu jika matanya memancarkan kengerian yg berlangsung dihadapanya.
Relakah dirimu, jika genggaman tangannya tak menyisakan kehangatan, tersedot oleh kebengisan.
Mereka tak paham, kenapa dunia begitu kejam pada tubuh kecilnya.
Bila engkau adalah seorang ayah, seorang suami.
Potret dirimu ketika mengucapkan ijab kabul, mengucapkan janji suci pernikahan.
Pastilah terpatri tanggung jawab kehormatan atas pasangan dan buah hati dari rahimnya.
Bagaimana bila, jangankan kau bahagiakan mereka, kau naungi saja dengan rumah kontrakan, tak ada yg mau menyewakan.
Jangankan kau berikan perhiasan dan baju model terbaru, kehormatanya saja direnggut tanpa mampu kau mengeluarkan murka.
Jangankan dapat kau naikan anakmu ke pundakmu untuk kau arak keliling kampung sebagai sukacita kebanggaan, malah betis kecilnya harus menempuh jarak ribuan mill.
Kini dekapan dada ibunya tertinggal tanpa kembali, tak ada lagi asi yg menyamankan.
Atau mereka, anakmu dan istrimu selamat..tapi mereka sudah tak sama lagi.
Bila engkau adalah anak, dengan kehidmatan yg luhur membahagiakan orangtuamu.
Bagaimana bila, jangankan kau pijat kaki sepuhnya, malahan tubuh ringkih mereka terpaksa kau tinggalkan, karna tak cukup cepat kau selamatkan.
Lalu bagaima dengan kenangan indah pengorbanan mereka atas kita, kemana sesal itu harus dikendorkan.
Bagaimana bila..anakmu, pasanganmu, ayah ibumu...harus menjadi pilihan untuk kau bawa pergi. Bagaimana caranya kau lupakan binar harap di mata-mata mereka.
Atau malah dirimu yg mendapat tendangan bergudang, sodoran pisau, dan seutas tali kekang yg digantungkan, dan disana.. orang2 terkasihmu menyaksikan.
Engkau, kita..aku, saya..dan kamu dapat saja lahir sebagai mereka, berkembang dalam rahim wanita rohingya
Masihkah kita mempunyai pilihan?
Kita adalah rohingya, rohingya adalah Kita
5 September 2017
Mumsikah Choyri Diyanah
Dalam keheningan senja yang mengangga
Komentar
Posting Komentar